
Indo-opsi.com, Bandar Lampung, 10 Mei 2025 — Kebijakan Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal terkait penetapan harga dasar singkong terus menuai dukungan dari pelaku industri. Hingga saat ini, lebih dari 30 pabrik pengolahan singkong di provinsi ini telah melaksanakan Instruksi Gubernur Nomor 2 Tahun 2025 yang menetapkan harga dasar sebesar Rp1.350 per kilogram dan potongan maksimal 30 persen.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tata Niaga Singkong DPRD Lampung, Mikdar Ilyas, menyebut langkah ini sebagai bentuk keberpihakan nyata kepada petani. Namun demikian, masih ada 3–4 perusahaan yang belum mematuhi aturan dan akan segera dievaluasi.
“Kita apresiasi sekitar 30 perusahaan yang sudah mengikuti harga dan potongan sesuai instruksi gubernur. Tapi masih ada beberapa yang belum, dan ini akan segera kita evaluasi. Kita ingin seluruh pabrik patuh agar sistem tata niaga ini benar-benar adil,” ujar Mikdar.
Dukungan kuat juga datang dari industri, khususnya anggota Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI). Ketua PPTTI Lampung, Welly Soegiono, menyatakan bahwa dari 18 anggota, semuanya berkomitmen patuh terhadap kebijakan tersebut.
“Kami sepakat dengan kebijakan Pak Gubernur. Tujuannya jelas, agar usaha tetap berjalan dan petani juga tidak dirugikan. Semua anggota kami patuh, kecuali dua pabrik yang sedang tutup sementara karena over haul,” jelas Welly.
Gubernur Rahmat sebelumnya juga menegaskan bahwa kebijakan harga dasar adalah bagian dari solusi jangka panjang yang perlu diperkuat lewat kebijakan nasional. Ia mendorong pemerintah pusat segera menetapkan larangan dan pembatasan (Lartas) impor singkong dan turunannya seperti tapioka, agar industri dalam negeri tidak terus tertekan.
Mikdar turut menekankan bahwa kewenangan pengaturan Lartas sepenuhnya berada di tangan Kemenko Perekonomian, bukan Kemenko Pangan.
“Kalau bicara harga di daerah, itu sudah selesai. Tapi sekarang bola ada di pemerintah pusat. Lartas itu wewenang Kemenko Perekonomian, bukan Kemenko Pangan. Dan ini mendesak. Jangan tunggu ekonomi global membaik dulu, lihat dulu ekonomi petani kita,” tegas Mikdar.
Sebagai daerah penghasil singkong terbesar di Indonesia, Lampung justru mengalami tekanan harga dan sistem potong yang tak berpihak pada petani. Jika tidak segera ada intervensi dari pusat, petani dikhawatirkan akan beralih ke komoditas lain dan industri lokal pun terancam.
“Kita dorong pusat segera ambil keputusan. Ini bukan soal angka makroekonomi, ini soal keberlanjutan hidup petani singkong dan industri yang menyerap hasil mereka. Jangan tunda lagi,” tutup Mikdar.
Dengan dukungan nyata dari lebih dari 30 pabrik, Pemerintah Provinsi Lampung bersama DPRD kini menantikan langkah konkret dari pemerintah pusat untuk menyempurnakan regulasi tata niaga singkong nasional. (Orba_battik).