Bagaimana Menyembuhkan Anak yang “Terlanjur” Kecanduan Gadget…?

Penulis : Musthafa Akhyar (Penggerak Kampung Bahasa Inggris Payungi)

Sebenarnya, judul tulisan ini tidak koheren dengan isinya. Sengaja dibuat demikian supaya naluri debat dan kritisnya keluar dulu. Let’s talk about the bigger picture.

Jika membahas tentang pendidikan anak, yang jelas terjadi adalah mereka hidup di zaman dan generasi yang berbeda dengan kita. Ini sebuah pola yang sebenarnya pasti berulang di setiap generasi. yang selalu menjadi perdebatan adalah orang tua yang kehabisan cara dan akal untuk menghentikan kegiatan anak dengan dunianya yang dinilai melalaikan. Dulu, generasi saya ketika usia 5-10 tahun, kami menikmati betul menonton tayangan TV terutama kartun dan acara anak. Setelah dewasa kadang kami masih sesekali bernostalgia membahas acara-acara TV favorit sesama penikmat. Kami tidak menonton apa yang orang tua kami tonton pada saat itu, apalagi menonton apa yang dulu mereka tonton ketika masih kecil karena bisa jadi programnya sudah tidak ada lagi.

Dan rasanya jadi anak kecil yang asyik menonton acara TV setiap hari di sore hari dengan tayangan seperti Ultraman dan Kera Sakti tentu membuat orang tua sakit kepala juga. Karena sangking serunya menonton terkadang lupa waktu kalau sudah jamnya berangkat belajar ngaji di TPA. Hari minggu pun, start jam 06.00 pagi sudah standby di depan TV mengikuti rantai acara kartun hingga ketemu tengah hari. Kalau orang tua sampe bertanya, ” Apa ga bosen nonton terus dari pagi ? ” atau ” nonton apa sih sampe lupa makan lupa mandi?”. Ya mohon maaf, memang itulah dunia kami pada waktu itu dan kami betul-betul menikmati.

Anak generasi Z beda lagi ceritanya, sejak mulai bisa menangkap maksud Audio Visual mereka sudah kenal dengan berbagai platform sharing konten atau sebut saja yang paling terkenal youtube. Di Usia 4 tahun atau lebih muda lagi mereka sudah fasih mengoperasikan smartphone milik orang tuanya, dan tau bagaimana cara fast forward, rewind atau mengganti tayangan. Mereka anak-anak Digital Native yang lahir dan dibesarkan bersamaan dengan tumbuh pesatnya internet. Mereka menikmati santap sarapan, makan siang dan malam ditemani dengan tayangan Youtube for Kids isinya mainan-mainan kesukaan mereka yang diperagakan dengan apik oleh content creator.

Orang tua pun ya mohon maaf bilang, tidak mau repot mengatur fokus anak untuk bisa makan khusyuk disuapin tanpa ada penolakan. Kalau mereka sudah di depan tontonan favoritnya, Insya Allah proses makan pun cepat kelarnya ga pake ribet.

Terlepas di luar sana ada orang tua yang memang ketat tidak boleh sama sekali anaknya nonton TV ( tidak ada TV di rumah) atau tidak memberikan sama sekali HP ke anak mereka, bahwa pada dasarnya masing-masing generasi hidup pada zamannya. Memaksa kita, mereka, atau anda sekalipun keluar dari generasi tersebut untuk menerima gaya hidup generasi yang lain rasanya hanya akan membunuh naluri saja.

Apakah anak-anak menjadi bodoh ketika mereka nonton tayangan youtube?. Belum tentu.

Apakah anak-anak bisa jauh lebih cerdas dan kreatif jika dijauhkan dari gadget ?. Bisa diperdebatkan. It’s their world, and sorry to say, our world today.

Lalu bagaimana dengan kelas-kelas di sekolah atau kampus yang melarang smartphone dan internet di ruangan lokal kelas?

Nah, ini masih kongruen dengan ide menjauhkan generasi dari gaya hidupnya alih-alih mempersenjatai mereka untuk bisa survive dan menggunakan gadget tersebut untuk melesat lebih, menguasai zamannya. Bisa jadi malah anak-anak punya wawasan jauh lebih banyak bersumber dari internet, bukan orang tua, bukan juga guru. Mereka hidup dan dekat dengan teknologi canggih ini.

Kegiatan Belajar Mengajar yang kreatif zaman digitalisasi seharusnya melibatkan paling tidak guru yang paham mengolah media pendidikan, murid yang proaktif menggunakan perangkat digital untuk proses pembelajaran dan Alatnya itu sendiri berupa smartphone atau laptop yang didesain untuk memancing gairah belajar. Kita ambil contoh ya, tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada guru-guru sekolah yang sudah berjuang bekerja keras mengajar daring (Online class) pada masa pandemi covid-19, banyak cerita yang kami dengan dari anak murid atau mahasiswa kalau Kuliah atau mata pelajarannya jadi ruwet. Di satu sisi, prosesnya meminta siswa/mahasiswa untuk bisa lebih mandiri tapi disisi lain cara delivery materi dan kegiatan kelasnya membosankan.

Kesimpulan kami cuma satu, operatornya gagap dihadapkan situasi seperti ini. Orang tua di rumah yang mendampingi anak belajar juga ikutan bingung. Akhirnya semuanya bingung. Korbannya? Jelas anak.

Sebagai pelaku dunia pendidikan, kami sadar bahwa kami harus segera mengejar ketertinggalan dan menyesuaikan dengan zaman generasi berikutnya. Walaupun pada akhirnya harus mendalami aplikasi TikTok hanya untuk menangkap pola yang berkembang, sangat bertentangan dengan nurani.

Maka, dalam ide terliar saya, dalam waktu dekat ini saya sedang mendesain sebuah program atau gerakan “School of Content Creator” atau mungkin bisa juga namanya “School of Digital “. Misi besarnya adalah bagaimana gadget yang kita miliki sebagai barang pribadi paling setia menemani kita dimanapun kapanpun itu bisa menghasilkan sebuah nilai tambah / value added. Contohnya seperti membuat konten mengajar menggunakan Kahoot, mengoptimalkan google classroom, dsb. Menggeser paradigma kalau netizen adalah konsumen sosial media dan content feeder menjadi masyarakat digital yang proaktif membangun jembatan penghubung lintas generasi agar bisa punya sumber daya pendidikan terbarukan (Sustainable education).

Target audience dari agenda ini bukan hanya generasi muda usia sekolah saja, tapi juga bapak-ibu, orang tua, guru, pemuka masyarakat, pengusaha siapa saja yang hari ini persepsinya terhadap dunia industri 4.0 dan 5.0 masih berhenti di awang-awang dan tidak tau big picture dari semua yang terjadi hari ini. Kita akan berkolaborasi dengan praktisi IT, pegiat sosial media, konten kreator, digital marketer, psikolog pendidikan, pelaku usaha, dan yang paling penting komunitas lintas generasi.

Bisa jadi generasi yang akan datang akan fasih dengan 3 bahasa : Bahasa Indonesia (Budaya Lokal), Bahasa Inggris (Budaya Global), dan Bahasa Pemrograman (Budaya machine learning). (*)