Inilah 8 Solusi Sumber Anggaran Untuk Stimulus Fiskal Sektor Informal

Penulis: Mahesa Danu

Pandemi virus korona baru kini menerjang seluruh penjuru dunia. Sudah 200 negara, termasuk Indonesia, yang kini berjibaku menghadapi virus bernama SARS-CoV-2 ini.

Sejak jadi wabah hingga ditetapkan jadi pandemi, virus korona bak awan gelap yang menaungi kehidupan kita dengan hal-hal mencemaskan: jumlah orang sakit, jumlah orang meninggal, orang tiba-tiba tumbang di jalanan.

Demi menghalau virus yang gampang meledak dan mematikan ini, maka perlu mengurangi interaksi jarak dekat antara orang, terutama di ruang publik. Maka keluarlah kebijakan, seperti karantina, menjaga jarak (social/physical distancing), hingga lockdown.

Indonesia sendiri memilih pendekatan menjaga jarak aman. Meskipun, di beberapa daerah, ada yang mengambil tindakan lockdown terbatas. Presiden sendiri sudah mengeluarkan kebijakan: bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah.

Belajar dan beribadah di rumah relatif diterima dan mulai berjalan, sedangkan bekerja di rumah seakan membentur tembok. Bekerja di rumah hanya berlaku bagi ASN dan pekerja kantoran, tetapi tidak dengan pekerja pabrik dan sektor informal.

Indonesia, negeri yang ekonominya masih didominasi sektor informal, tentu sulit melakukan menerapkan kebijakan bekerja di rumah.  Pekerja informal Indonesia, yang meliputi 55,72 persen (70,49 juta orang), banyak yang menggantungkan hidupnya pada keramaian dan berinteraksi dengan orang-orang, seperti pedagang eceran, pedagang keliling, tukang ojek, sopir angkot, dan lain sebagainya.

Sudah begitu, seiring dengan kebijakan meliburkan sekolah, mengurangi kerumunan, dan bekerja di rumah, ruang peluang bagi pekerja untuk mengais rezeki juga menipis. Banyak yang terpaksa mudik premature, lantaran dihantui bahaya yang lebih mengerikan dari virus korona: kelaparan.

Di sisi lain, pandemi korona yang berdampak pada rantai produksi dan pasokan, berdampak jauh pada ekonomi kita, baik di sisi pasokan maupun permintaan. Akibat kebijakan pembatasan sosial, produksi terganggu, sementara permintaan juga turun. Gangguan terhadap pasokan, efek panic buying, juga memicu kenaikan harga barang kebutuhan pokok.

Ujung-ujungnya, sektor sosial yang paling terdampak dari pandemi ini adalah pekerja informal dan kaum miskin. Mereka dicekik dua bahaya sekaligus: korona dan kelaparan.

Ingat, tuan-tuan pemerintah, wabah yang menakutkan dan kelaparan adalah kombinasi paling tepat untuk memicu sebuah pemberontakan sosial. Ini seperti percikan api yang menjalari ranting-ranting kering; gampang terbakar.

Karena itu, banyak ekonom, bahkan yang paling neolib sekalipun, merekomendasikan “uang helicopter” (helicopter drop)—istilah yang dipopulerkan oleh founding father neoliberalisme, Milton Friedman,  untuk menggambarkan serangkaian kebijakan untuk menstimulus ekonomi yang dicekik krisis, termasuk menjatuhkan lebih banyak uang ke publik.

Oke, pemerintah sudah menyiapkan stimulus untuk pekerja informal, tetapi kelihatannya masih kurang nendang. Nilai anggarannya terlalu kecil, sehingga belum sebanding dengan efek ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi ini.

Mungkin pemerintah beralasan, negara kita juga lagi kesulitan anggaran. Ruang fiskal kita sangat terbatas. APBN saja jeblok terus. Kalau mau santunan yang lebih layak dan manusiawi bagi pekerja informal dan orang miskin, dari mana anggarannya?

Anggaplah, kalau semua pekerja informal dan orang miskin di Indonesia, yang jumlahnya kalau digabung berkisar 99 juta orang, mau digaji. Taruhlah, agar mereka bisa membeli kebutuhan pokok, terutama pangan, butuh Rp 2,5 juta. Maka negara ini butuh menyediakan Rp 247,5 triliun.

Angka itu masih bisa turun, kalau jumlah penerimanya diseleksi berdasarkan tingkat kerentanan, atau menggunakan mekanisme bantuan yang lain, seperti dapur umum, bantuan sembako, dan lain-lain, hitungan anggarannya tentu lebih kecil.

Baiklah, Pak, saya bantu cari solusi. Sebagai warga negara yang baik, memang tak elok hanya menembakkan beribu-ribu kritik, tetapi tak menyertakan satu pun solusi.

Berikut ini kami tunjukkan beberapa potensi sumber uang untuk menambah anggaran stimulus pemerintah, terutama untuk menalangi sektor informal dan mereka yang paling rentan tenggelam dalam krisis ekonomi akibat pandemi ini.

Tambahan anggaran ini juga bisa dipakai untuk membiayai pengadaan peralatan yang dibutuhan rumah sakit dan fasilitas kesehatan kita. Juga alat pelindung diri yang sangat dibutuhkan oleh pejuang-pejuang kesehatan kita di garis depan.

Pertama, pemangkasan gaji pejabat dari pusat hingga daerah

Dalam situasi bencana atau krisis, perlu bagi pemimpin untuk menunjukkan empatinya. Salah satunya: melepas sebagian fasilitas yang dinikmati, terutama gaji.

Jadi, demi kemanusiaan, Presiden dan Wapres harus mempelopori untuk memangkas gajinya untuk menambah anggaran menghadapi pandemi korona. Lalu diikuti Menteri-Menteri/Wakil Menteri, Watimpres, KSP, Gubernur, hingga Bupati, Staf Khusus.

Anggota DPR yang terhormat, yang katanya Wakil Rakyat itu, juga harus memangkas gajinya. Tolong, syahwat untuk unjuk kemewahan dan unjuk kuasa di tengah situasi begini segera dihentikan.

Petinggi BUMN, dari BUMN induk hingga anak-cucunya, juga harus pangkas gaji. Juga direksi BPJS, yang gaji dan insentifnya naik tiap tahun, juga harus pangkas gaji. Masak kalian hidup mewah, sementara dokter dan petugas kesehatan itu kekurangan alat pelindung diri (APD). Nggak punya urat malu, kalian?

Kedua, dorong redistribusi kekayaan dengan skema pajak progressif

Mereka yang selama ini menumpuk kekayaan yang sangat luar biasa, yang diuntungkan oleh kebijakan ekonomi pemerintah (dari ekonomi rente, relaksasi pajak, hingga upah murah), harus ditagih empatinya dalam krisis ini.

Ya, mereka harus bersedia mengalirkan sebagian kekayaannya untuk memperkuat anggaran negara dalam menghadapi pandemi korona ini. Skemanya bisa lewat pajak progressif dan pajak kekayaan.

Kalian takut? Ah, Britney Spears saja berani bicara “wealth redistribution”, masak negara yang berdasarkan Pancasila dan cita-cita keadilan sosial justru suka memelihara ketimpangan dan ketidakadilan sosial.

Ketiga, sita harta koruptor

Salah satu persoalan bangsa kita adalah korupsi. Dan terbukti, penjara, apalagi KPK sekarang yang loyo, tak sanggup menghentikan laju korupsi. Sekarang, mengejar seorang koruptor bernama Harun Masiku saja tidak becus.

Bagi kami, salah satu senjata efektif untuk menghadapi korupsi adalah penyitaan seluruh harta koruptor. Miskinkan mereka. Saya yakin, kalau kebijakan ini diterapkan dengan serius, tegas, dan tanpa pandang bulu, orang akan berpikir satu juta kali untuk melakukan korupsi.

Orang kan korupsi karena mau menumpuk harta. Kalau korupsi berujung pemiskinan, mana mungkin mereka mau korupsi. Syaratnya: kebijakan ini harus serius, tegas, dan tak pandang bulu. Koruptor macam Harum Masiko, kalau hartanya disita semua, mau lari kemana lagi dia. Hahaha.

Nah, dalam konteks pandemi korona ini, penyitaan harta koruptor bisa menjadi salah satu sumber anggaran yang cukup besar untuk menambah daya imum anggaran negara.

Keempat,  moratorium pembayarang utang luar negeri

Jadi begini. Boleh loh, kalau negeri itu tengah mengalami kesulitan keuangan, atau krisis, atau ditimpa bencana, mengajukan moratorium pembayaran utang luar negeri. Alasannya, karena keterbatasan anggaran, sehingga harus diprioritaskan untuk penangan bencana.

Kalau ini bisa dilakukan, negara bisa mendapatkan tambahan anggaran yang cukup besar. Untuk diketahui, alokasi APBN 2020 untuk pembayaran bunga utang sebesar Rp 295,2 triliun, sedangkan pembaran utang pokok senilai sebesar Rp 351.9 triliun.

Jadi, kalau berhasil mendesakkan moratorium, setidaknya pemerintah mendapat tambahan anggaran sebesar Rp 647 triliun. Kalaupun, dalam proses negosiasi kita hanya mendapat moratorium pembayaran bunga, seperti kasus bencana tsunami tahun 2005, setidaknya negara punya tambahan anggaran sekitar Rp 295 triliun.

Kelima, tunda agenda pemindahan Ibukota

Okelah, karna beban Jakarta yang sudah berlebih, Republik ini memang perlu pindah Ibukota.

Namun, melihat kondisi ekonomi dan rakyat sekarang, terutama dampak pandemi korona, ada baiknya rencana mulia itu ditunda dulu. Dengan begitu, anggaran APBN yang dialokasikan untuk pemindahan Ibukota, sebesar Rp 93,5 triliun, bisa dialihkan untuk mengatasi bencana korona.

Keenam, hentikan sementara proyek infrastruktur

Proyek infrastruktur, terutama yang tidak begitu mendesak, sebaiknya ditunda juga. Anggarannya bisa dialokasikan dulu untuk mengatasi dampak pandemi korona.

Kalau ini dilakukan, setidaknya negara bisa mengutak-atik anggaran Rp 419 triliun untuk infrastruktur di APBN 2020 untuk dialihkan ke stimulus pandemi korona.

Ketujuh, rampingkan birokrasi

Birokrasi kita sangat gemuk. Bukan karena tuntutan layanan publik, tetapi lebih karena untuk melayani politik “balas budi” dan nepotisme dalam politik kita.

Masalahnya, selain bikin ribet dan birokratis, birokrasi gemuk ini juga makan banyak biaya. Sebab, orang-orangnya harus digaji, sementara lembaga/instansinya butuh anggaran operasional.

Oiya, perampingan ini bukan hanya pemangkasan eselon, loh, atau penghilangan unit kerja yang tak penting, tetapi sampai penyederhanaan Kementerian. Tiongkok, yang penduduknya 1,4 milyar, hanya diurus 21 Kementerian. Sedangkan Amerika Serikat cuma  diurus 15 departemen/kementerian.

Delapan, hapuskan jabatan staf khusus milenial

Ada banyak jabatan nir-faedah di negeri ini. Salah satunya adalah jabatan staf khusus milenial. Coba sebutnya, apa faedahnya mereka bagi publik, terutama milenial?

Sudah nir-faedah, eh digaji Rp 51 juta per orang. Jadi, 7 orang staff milenial menghabiskan Rp 357 juta per bulan. Belum anggaran operasional mereka.

Coba dihitung, kalau jabatan ini dihilangkan, lalu gajinya dialihkan untuk membeli masker dan APD untuk tenaga kesehatan kita di garis depan, dapat berapa banyak?. (Red/Bo)